Selasa, 23 April 2013

OLEH IDRIS CHALIK Wakil Ketua IPKB Provinsi Bengkulu



Program Kependudukan dan Keluarga Berencana memiliki peran penting dalam upaya menuju pembangunan nasional yang berwawasan kependudukan sebab hal itu dinilai mampu membentuk moral serta kualitas sumber daya manusia melalui berbagai aspek. Namun sulit untuk mewujudkannya karena hingga saat ini lembaga pengelola program tersebut belum mampu menembus tembok Istana. Hal itu menimbulkan rasa pesimis banyak kalangan di negeri ini pembangunan Milenium akat tercapai.

Untuk meraihnya sejumlah Negara mencanangkan  pembangunan Milenium pada 2000 lau, sementara pemerintah Indonesia mengambil aba-aba upaya perwujudan sasaran pembanunan Milenium 2015 dengan pengesahan sebuah peraturan perundang-undangan yakni UU No.52/2009, namun dasar hukum tersebut belum dapat menggerakkan pelaksanaan program KKB di Tanah Air karena masih terdapatnya peraturan yang masih membelenggu langkah dan gerak program pengendalian kelahiran dan kependudukan lebih leluasa.

Selain disebabkan terdapatnya peraturan perundang-undangan yang masih mengganjal juga masalah Kependudukan sebagai issu utama dalam menciptakan bangsa yang bermartabat hingga kurun waktu belasan tahun ini masih belum atau tidak dapat masuk gerbang Istana untuk menjadi lembaga kementerian layaknya sejumlah lembaga Negara kementerian lainnya.

Ketika hal itu tidak segera berbaur masuk dilingkup Istana maka pelaksanaan program Kependudukan dan Keluarga Berencana sulit untuk mengatasi masalah kependudukan yang amat kompleks.

Terdapat sejumlah alasan yang melandasi pemikiran bahwa penduduk merupakan isu yang sangat strategis dalam kerangka pembangunan nasional. Penduduk merupakan pusat dari seluruh kebijakan dan program pembangunan yang dilakukan. Dapat dikemukakan bahwa penduduk adalah subjek dan objek pembangunan. Jadi, pembangunan baru dapat dikatakan berhasil jika mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk dalam arti luas yaitu kualitas fisik maupun non fisik yang melekat pada diri penduduk itu sendiri.
Keadaan penduduk yang ada sangat mempengaruhi dinamika pembangunan yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah. Jumlah penduduk yang besar, jika diikuti dengan kualitas penduduk yang memadai maka akan menjadi penopang bagi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, jumlah penduduk yang besar, jika diikuti dengan tingkat kualitas rendah, menjadikan penduduk tersebut hanya sebagai beban bagi pembangunan nasional.
Dampak perubahan dinamika kependudukan baru akan terasa dalam jangka yang panjang. Karenanya, seringkali peranan penting penduduk dalam pembangunan terabaikan. Sebagai contoh, beberapa ahli kesehatan memperkirakan bahwa krisis ekonomi dewasa ini akan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan seseorang pada 25 tahun ke depan atau satu generasi.

Secara sederhana pembangunan berwawasan kependudukan mengandung dua makna sekaligus :
Pembangunan berwawasan kependudukan adalah pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan kondisi penduduk yang ada. Penduduk harus dijadikan titik sentral dalam proses pembangunan. Penduduk harus dijadikan subjek dan objek dalam pembangunan. Pembangunan adalah oleh penduduk dan untuk penduduk.
Pembangunan berwawasan kependudukan adalah pembangunan sumberdaya manusia. Pembangunan lebih menekankan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dibandingkan dengan pembangunan infrastruktur semata-mata.
Sebenarnya sudah lama didengung-dengungkan mengenai penduduk sebagai subjek dan objek pembangunan, mengenai pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, atau pembangunan bagi segenap rakyat. Sudah saatnya tujuan tersebut diimplementasikan dengan sungguh-sungguh jika tidak ingin mengalami krisis ekonomi yang lebih hebat lagi pada masa mendatang. Dengan demikian indicator keberhasilan ekonomi harus diubah dari sekedar GNP atau GNP perkapita menjadi aspek kesejahteraan atau memakai terminology UNDP adalah Indeks Pembangunan Manusia (HDI), Indeks Kemiskinan Sosial (HPI) dan Indeks Pemberdayaan Gender (GEM), dan sejenisnya. Memang, mempergunakan strategi pembangunan berwawasan kependudukan untuk suatu pembangunan ekonomi akan memperlambat tingkat pertumbuhan ekonomi. Namun, ada suatu jaminan bahwa perkembangan ekonomi yang dicapai akan lebih berkesinambungan. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya akan membawanya pada peningkatan ketimpangan pendapatan. Industrialisasi dan liberalisasi yang terlalu cepat akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas, tetapi sekaligus juga meningkatkan jumlah pengangguran dan setengah menganggur.
Mengapa selama ini Indonesia mengabaikan pembangunan berwawasan kependudukan? Hal ini tidak lain karena keinginan pemerintah untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi yang harus senantiasa tinggi. Pertumbuhan ekonomi menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan pembangunan nasional. Walaupun Indonesia memiliki wawasan trilogy pembangunan yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas, pada kenyataannya pertumbuhan senantiasa mendominasi strategi pembangunan nasional. Karena mengabaikan aspek pemerataan pembangunan akhirnya muncul keadaan instabilitas dan kesenjangan antar Golongan dan wilayah.

Berdasarkan Sasaran Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals) atau MDGs. Dari hasil deklarasi Milenium tersebut menyepakati tercapainya kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada 2015. Target ini merupakan tantangan utama dalam pembangunan di seluruh dunia yang terurai dalam Deklarasi Milenium, dan diadopsi oleh 189 negara serta ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York pada bulan September 2000t.

Pemerintah Indonesia turut menghadiri Pertemuan Puncak Milenium di New York tersebut dan menandatangani Deklarasi Milenium yang memuat komitmen negara masing-masing dan komunitas internasional untuk mencapai delapan butir sasaran pembangunan dalam Milenium ini (MDGs), sebagai satu paket tujuan yang terukur untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan.

Penandatanganan deklarasi merupakan komitmen dari pemimpin-pemimpin dunia untuk mengurangi lebih dari separuh penduduk menderita akibat kelaparan, menjamin semua anak untuk menyelesaikan pendidikan dasarnya, mengentaskan kesenjangan jender pada semua tingkat pendidikan, mengurangi kematian anak balita hingga 2/3 , dan mengurangi hingga separuh jumlah orang yang tidak memiliki akses air bersih pada tahun 2015 sejumlah sasaran tersebut bermuara pada permasalahan yang dihadapi kependudukan.

Deklarasi Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai dijalankan pada September 2000, berupa delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015.

Minilik gebrakan program kependudukan di Tanah Air masih membuat banyak kalangan merasa pesimis untuk mencapai sasaran MDGs pada 2015 karena hingga saat ini pemerintah Indonesia belum mengadopsi konsep pelaksanaannya.

Pemerintah dalam menangani masalah kependudukan tidak serta merta memandang sebuah kebutuhan mendesak segera sehingga menempatkan posisi lembaga pengelola berada di luar Istana.

Keberadaan yang dinilai masih diluar Istana itu karena lembaga yang mengurus kehidupan berbangsa tidak berada dalam lembaga kementerian yang jauh lebih berat dibandingkan dengan lembaga kementerian lainnya di Indonesia seperti Kementerian Pemberdayaan Pertempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA), Kementerian Kelautan, Daerah Tertinggal, Pemuda dan Olah Raga yang telah memasuki ruang Istana.

Jika hal itu masih pada posisi tersebut tak kalah beda dengan kondisi anak pungut dalam sebuah keluarga hidup tanpa arah.***